jumlah pengunjung

Sabtu, 22 Desember 2012

Surga ada di Bawah Telapak Kaki Ibu




Kata pepatah, ‘surga ada dibawah telapak kaki ibu’. Jargon yang sering dibisikkan ke teloinga saya ketika saya masih kecil. Kata Ibu, jangankan berdebat…berkata ‘ah’ saja sudah merupakan dosa dalam ajaran agama Islam. Mengapa kita harus menghormati Ibu, karena beliau yang melahirkan, mendidik, dan membesarkan kita..dari yang tidak bisa menjadi bisa.
Muncul argument dalam benak saya, apakah jargon itu masih tepat untuk diucapkan di era modern? Akibat adanya paham globalisasi yang didengungkan oleh Negara maju (developed), muncul pemikiran baru tentang ‘emansipasi wanita’. Tidak perlu saya jelaskan panjang lebar dalam artikel ini tentang apa itu emansipasi di era modern karena sudah banyak contoh-contoh nyata di kehidupan kita sehari-hari. Intinya, memberikan kesempatan yang sama pada kaum perempuan untuk sejajar dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan. Nah, bagaimana kalau peran ibu mulai tergantikan oleh pembantu/baby sitter/pre-school/tempat penitipan anak karena si Ibu sibuk bekerja? Bagaimana kalau metode melahirkan sekarang sedemikian majunya sehingga Ibu lebih memilih melakukan cesar ketimbang melahirkan normal? Bagaimana kalau kaum perempuan yang terlalu modern lebih memikirkan karir dan pekerjaan ketimbang menikah dan membangun keluarga?
3 poin diatas merupakan pandangan saya terhadap perkembangan sosial yang sekarang terjadi di Indonesia. Apakah ini salah? Bagaimana dengan peran ayah? Bagaimana dengan ayah yang tidak ada di sisi sang Ibu dan si kecil ketika dibutuhkan?
Alhamdulillah, saya berkesempatan untuk break sejenak dari perkuliahan saya di Belanda dan pulang kembali ke tanah air untuk menemui istri dan anak saya yang akan menginjak 2 tahun. Sudah seminggu saya berada di Surabaya, dan hari-hari saya habiskan untuk mengurus anak semata wayang saya, Arfa yang masih kecil. Saya temani dia bermain, saya keloni (baca: temani) dia ketika akan tidur, saya suapi dia dengan tangan saya, dan saya mandikan dia setiap harinya, saya cuci perlengkapan makannya dan baju (terima kasih untuk mesin cuci/teknologi). Semua hal yang biasanya dilakukan Ibu, saya lakukan sendiri (termasuk membersihkan bekas pup-nya). Hasilnya? Wow…cukup memakan waktu, bahkan tidak terasa waktu cepat berlalu hingga senja-pun dating, waktu untuk menjemput istri saya pulang bekerja.
Memang saya sendiripun mengaku salah dengan meninggalkan si kecil untuk memenuhi ego dan ambisi saya. Tetapi, janji saya kepada istri dan anak saya seperti ini “kelak suatu saat, kalau ayah pergi jauh lagi, ayah akan ajak ibu dan Arfa ikut papa agar kita selalu bersama”. Itu argument saya untuk si-Ayah karena posisi saya sebagai Ayah bagi anak saya dan Suami bagi bagi Istri saya. Untuk Ibu, saya sendiri jujur juga susah berpihak pada yang mana karena pada dasarnya saya menyetujui emansipasi wanita dan kesetaraan gender, tetapi sedikit menyesalkan bagi ibu yang mengabaikan anak dan suami untuk kepentingan karir. Tetapi akhir kata, saya tetap salut untuk Ibu super yang bisa menghandle semuanya. Membagi waktu dengan bijak dan memegang peranan penting dalam keluarga meski tetap bekerja.

Sabtu, 10 November 2012

kisah sejati

Secangkir Teh Buatan Ayah

07 Nov 2012 | Rubrik: Kisah Sejati - Dibaca: 558 kali
Penulis: Aida Hanifa
Terkadang, hal kecil yang dilakukan oleh orang lain untuk kita, terasa tidak berarti apa-apa sebelum ada orang lain yang menceritakannya kepada kita, dan memberitakan hikmahnya.
Dan, ini adalah kisah adikku, Riska, yang baru menyadari hikmah di balik secangkir teh buatan ayah, setelah bertahun-tahun menganggap itu adalah teh yang biasa-biasa saja... 
***
Ini adalah wawancara kerja ke-sekian kalinya yang telah dilalui oleh Riska. Tapi wawancara kali ini lebih berkesan. Bukan hanya karena Sang Direktur BUMN itu sendiri yang mewawancarai, tapi juga karena apa yang disampaikannya seperti mengingatkan Riska pada barang kesayangan yang dulu pernah hilang dan belum ditemukan kembali.
Sang Direktur itulah yang menemukannya. Orang yang tak diduga-duga, telah mengembalikan ‘barang kesayangan’ miliknya yang hilang.
“Jadi, setelah kamu merenung sekian lama, tahukah kamu apa itu integritas?”
Mungkinkah integritas yang dimaksud Bapak ini sama dengan integral yang kupelajari saat kuliah dulu?  Tanyanya sendiri dalam hati.
Riska menggeleng. Sang Direktur menghela nafas berat.
“Oke, sekarang saya mau tanya, bagaimana suasana keagamaan di rumahmu? Sangat agamis? Biasa saja? Atau malah antipati?”
Ah, ini BUMN berbasis syariah. Maka beginilah pertanyaannya.
“Sangat agamis,” jawab Riska pendek. Ia mengelap keringat di atas bibirnya dengan tisu yang ia lipat rapi menjadi bujur sangkar kecil.
“Kalau begitu, ceritakan! Ceritakan apa yang dilakukan ayahmu dari ia bangun pagi sampai ia tidur! Saya ingin tahu, seberapa agamisnya?”
Riska menyandarkan punggungnya pada kursi, berusaha rileks. Ia pejamkan matanya sesaat, dan cerita mengalir dari bibirnya.
Ayah, sepanjang ingatan Riska, selalu bangun sebelum Subuh. Mengawali hari dengan sholat qiyamullail. Selepas solat, Ayah akan menjerang air di ketel. Sambil menunggu air itu mendidih, Ayah akan membuka Al-Qur’an, membacanya dengan suara membahana yang terdengar seisi rumah. Kadang, Riska terbangun karena suara Ayah mengaji.
Setelah air mendidih, Ayah menyeduh kopi untuk dirinya, dan teh-teh untuk seluruh anggota keluarga. Jika ada roti—dan memang hampir setiap hari ada roti—Ayah akan mengolesi roti dengan mentega atau selai. Lalu Ayah hidangkan di piring. Beres dengan itu semua, Ayah akan bangunkan, pertama-tama, dua adik laki-laki Riska untuk bersiap sholat Subuh di masjid dekat rumah.
Selalu begitu setiap hari. Tak ada hari libur di mana Ayah tidak melakukan semua ritual itu.
“Kenapa Ayahmu membuatkan teh untuk anak-anaknya?”
“Ayah sengaja membuatkan kami teh, supaya ada sesuatu yang bisa kami nikmati begitu kami membuka mata. Juga, supaya adik-adik saya yang laki-laki mau bangun pagi dan sholat di masjid. Mereka suka sekali teh.”
“Selalu begitu setiap hari?” tanya Sang Direktur.
“Ya, itu rutinitasnya,” jawab Riska.
Sang Direktur tersenyum samar sebelum akhirnya ia berucap: “itulah integritas.”
“Oh ya?” Riska membulatkan matanya. Sesederhana itukah integritas?
“Ya,” Sang Direktur menjawab tegas. “Ayahmu ingin setiap anak laki-lakinya sholat subuh di masjid. Dan ia tidak sekedar memerintah dengan ucapan, tapi ia memberikan contoh, memfasilitasi, dengan ngotot, terus-menerus, tidak peduli bahwa sebetulnya, ia mungkin bosan harus membuatkan teh untuk kalian semua, agar sekadar kalian mau bangun pagi...”
“Tidak banyak kalimat perintah yang mungkin ia katakan. Hanya contoh nyata, bahwa perkataan dan perbuatan seiring sejalan.” Urai Sang Direktur. “Dan kau tahu?” tanyanya kemudian, “Itulah yang bedakan antara Ayahmu, dan koruptor!” Sang Direktur memberi tekanan pada kata terakhir.
Tiba-tiba saja, hati Riska meleleh. Sebesar itukah makna secangkir teh di pagi hari, yang selalu ia teguk begitu keluar kamar tidur, saat matanya bahkan belum benar-benar terbuka?
“Riska, koruptor mungkin lebih fasih mengumandangkan kalam Ilahi daripada ayahmu. Ilmu agamanya bisa jadi lebih luas dari yang dimiliki Ayahmu. Tapi, apa yang mereka katakan, ilmu yang mereka peroleh, tidak mereka jadikan sebagai prinsip hidup. Tidak mereka laksanakan pula berupa wujud nyata. Mereka merasa cukup dengan bicara, bicara, bicara...”
“Para koruptor, mereka seorang Ayah juga, mungkin hanya teriak-teriak membangunkan anak-anaknya di pagi hari. Kemudian di meja makan, menasehati: “Nak, kamu harus rajin sholat ya! Kamu harus rajin dateng TPA ya! Kalau nggak, mau jadi apa kamu nanti?” padahal, si Ayah itu, terlihat sholat di rumahnya pun jarang!”
Air mata Riska mulai tampak nyata.
“Kenapa kamu menangis?” tanya Sang Direktur.
“Karena—karena saya baru sadar, bahwa apa yang dilakukan Ayah selama ini, sangat berarti. Selama ini, saya hanya melihatnya sebagai sebuah rutinitas...”
Dan saya seperti menemukan barang kesayangan yang telah lama hilang... lanjut Riska dalam hati.
Terbayang wajah Ayah. Terbayang apa yang ia lakukan tiap pagi. Dan, teringat, bahwa belum sekalipun Riska berterimakasih pada Ayah untuk itu...
Ah, integritas seorang Ayah...
Ternyata, untuk menemukan makna atas apa yang Ayah lakukan setiap pagi, ia harus mencarinya sejauh ini; enam tahap tes tertulis yang semuanya dilakukan di Jakarta—puluhan kilometer dari rumahnya, dan bertemu Pak Direktur yang telah mewawancarainya sejam lebih! Terimakasih! Alhamdulillah!

Kamis, 08 November 2012

anak pun perlu dijaga ketika petang

Anak Pun Perlu Dijaga Ketika Petang Menjelang

Matahari senja baru saja tenggelam di ufuk barat. Malam pun merambat datang sementara kegelapan perlahan mulai menyelimuti bumi. Tampak beberapa anak kecil sedang bermain, berkejaran di pekarangan sebuah rumah. Sesekali, mereka berlari ke jalanan kampung. Di teras sebuah rumah, seorang ibu terlihat tengah meninabobokan bayinya, beralasan “mencari angin” karena si bayi kepanasan di dalam rumah.
Datangnya malam usai matahari tenggelam hingga datangnya waktu ‘Isya adalah saat bertebarnya para setan. Tak heran jika rutinitas masyarakat semisal aktivitas jual beli justru mengalami puncak keramaian (baca: godaan) nya di waktu ini. Sesungguhnya agama mulia yang sempurna ini telah mensyaratkan kepada kita utamanya anak-anak kita untuk tidak keluar rumah di waktu-waktu ini.
Matahari senja baru saja tenggelam di ufuk barat. Malam pun merambat datang sementara kegelapan perlahan mulai menyelimuti bumi. Tampak beberapa anak kecil sedang bermain, berkejaran di pekarangan sebuah rumah. Sesekali, mereka berlari ke jalanan kampung. Di teras sebuah rumah, seorang ibu terlihat tengah meninabobokan bayinya, beralasan “mencari angin” karena si bayi kepanasan di dalam rumah.
Gambaran ini, yakni keluarnya anak kecil ketika malam mulai datang adalah pemandangan biasa yang kita jumpai di sekitar kita, di masyarakat kita yang awam dan jauh dari bimbingan agama. Anak-anak mereka dibiarkan begitu saja, tanpa pencegahan dan tanpa penjagaan. Tahukah mereka bahwa pada saat yang demikian itu setan, makhluk yang jahat, musuh manusia, bertebaran sehingga dapat memudharatkan anak-anak tersebut dengan ijin Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Belumkah sampai pada mereka bimbingan dari Rasul mereka yang mulia Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam titah beliau yang agung:
إِذَا اسْتَجْنَحَ اللَّيْلُ – أَوْ كَانَ جُنْحُ اللَّيْلِ – فَكُفُّوا صِبْيَا نَكُمْ فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ تَنْتَشِرُ حِيْنَئِذٍ، فَإِذَا ذَهَبَ سَاعَةٌ مِنَ الْعِشَاءِ فَخَلُّوهُمْ، وَأَغْلِقْ بَابَكَ وَاذْكُرِ اسْمَ الله… الْحَدِيْثَ
“Apabila malam telah datang (setelah matahari tenggelam), tahanlah anak-anak kalian, karena setan bertebaran ketika itu. Apabila telah berlalu sesaat dari waktu ‘Isya lepaskanlah (biarkanlah) mereka, tutuplah pintumu, dan sebutlah nama Allah (mengucapkan bismillah pen.)…” (HR. Al-Bukhari No. 3280 dan Muslim No. 2012)
Maksud dari kalimat ( اسْتَجْنَحَ اللَّيْلُ ) atau ( جُنْحُ اللَّيْلِ ) adalah kegelapan malam, yakni datangnya malam setelah matahari tenggelam. ( فَكُفُّوا صِبْيَانَكُمْ ) yakni tahanlah anak-anak untuk keluar pada waktu tersebut karena dikhawatirkan mereka akan diganggu oleh setan yang banyak berkeliaran pada saat itu. (Syarah Shahih Muslim 14/185-186, Fathul Bari 6/411)
Belumkah pula sampai pada mereka larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam yang semakna dengan perintah dalam hadist di atas:
لاَ تُرْسِلُوا فَوَاشِيَكُمْ وَ صِبْيَانَكُمْ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ حَتَّى تَذْهَبَ فَحْمَتُ الْعِشَاءِ، فَإِنَّ الشَّيَاطِيْنَ تَنْبَعِثُ إِذَا غَابَتِ الشَّمْسُ حَتَّي تَذْهَبَ فَحْمَةُ العِشَاءِ
“Janganlah kalian melepas hewan-hewan ternak dan anak-anak kalian apabila matahari telah tenggelam hingga berlalu fahmah isya karena para setan keluar/berjalan cepat apabila matahari tenggelam sampai berlalu fahmah isya.” (HR. Muslim No. 2013)
Kalimat ( فَحْمَةُ الْعِشَاءِ ) (fahmah isya) dalam hadist di atas maknanya adalah gelap dan hitamnya malam, atau datangnya malam dan awal gelapnya. (Syarah Shahih Muslim 14/186). Sebagian ahlul ilmi memaknainya dengan datangnya waktu ‘Isya dan awal gelapnya. Kegelapan antara shalat Maghrib dan ‘Isya diistilahkan fahmah sedangkan antara shalat ‘Isya dengan shalat Shubuh diistilahkan ‘as’asah. (Nihayatul Gharib , 3/317)
Dalam hadist Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di atas, jelas sekali beliau memberi bimbingan agar anak-anak tidak dibiarkan keluar rumah, tapi ditahan di dalam rumah, ketika matahari telah tenggelam dan malam telah datang dengan kegelapannya. Bimbingan ini beliau berikan untuk menjaga anak-anak dari gangguan setan karena di waktu tersebut setan banyak bertebaran.
Al-Imam An-Nawawi Rahimahullah berkata:
“Dalam hadist ini terdapat sejumlah kebaikan dan adab yang mengumpulkan kebaikan dunia dan akhirat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan umatnya untuk melakukan adab-adab ini karena dengan melakukannya berarti menempuh sebab keselamatan dari gangguan setan. Setan tidak dapat membuka pintu yang tertutup dan tidak dapat pula mengganggu anak kecil dan selainnya apabila dilakukan perkara ini (dengan menyebut nama Allah/mengucapkan bismillah).” (Syarah Shahih Muslim, 14/185)
Ibnul Jauzi Rahimahullah menyatakan bila anak-anak kecil berkeliaran di luar rumah pada waktu tersebut dikhawatirkan mereka akan mendapat gangguan dari setan sementara anak-anak umumnya belum dapat berzikir dimana dengannya bisa membentengi diri mereka dari setan. Setan ini ketika bertebaran mereka bergantungan dengan apa yang memungkinkan bagi mereka untuk bergantung. (Fathul Bari, 6/411)
Dari hadist di atas, kita pun mengetahui bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam memerintahkan menutup pintu rumah dengan menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menghalangi masuknya setan yang akan membawa kemudharatan bagi penghuni rumah. Bila pintu telah ditutup dengan mengucapkan bismillah, setan tidak akan mampu membukanya, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا
“Setan tidak dapat membuka pintu yang tertutup.” (HR. Al-Bukhari No. 3304 dan Muslim No. 2012)
Ibnu Daqiqil ‘Ied Rahimahullah berkata: “Dalam perintah menutup pintu ada maslahat diniyyah dan duniawiyyah (kebaikan dunia dan akhirat) berupa penjagaan jiwa dan harta dari ahlul batil dan pembuat kerusakan terlebih lagi dari para setan. Adapun hadist Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:
فَإِنَّ الشَّيْطَانَ لاَ يَفْتَحُ بَابًا مُغْلَقًا
“Setan tidak dapat membuka pintu yang tertutup”
Merupakan isyarat bahwa perintah menutup pintu bertujuan untuk menjauhkan setan dari bercampur baur dengan manusia.”
Beliau Rahimahullah juga menyatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengabarkan bahwa setan tidak diberi kekuatan untuk melakukan sesuatu pun dari perkara yang disebutkan dalam hadist (seperti membuka pintu yang tertutup, bejana yang tertutup, dsb, pen.) walaupun ia diberi kekuatan yang lebih besar daripada itu seperti masuk ke tempat-tempat yang tidak mampu dimasuki manusia.” (Fathul Bari, 11/90)
Al-Mubarakfuri Rahimahullah menyatakan bahwa setan ini bisa dikatakan tertolak untuk masuk ke rumah seseorang dari seluruh sisinya dengan barakah tasmiyah (ucapan bismillah). Dalam hadist hanya disebutkan perintah menutup pintu (dengan membaca bismillah) karena pintu merupakan bagian yang paling mudah untuk dilalui ketika masuk ke dalam rumah. Bila setan ini tertolak untuk masuk lewat pintu (karena pintunya tertutup dengan mengucapkan bismillah) maka tentunya setan ini lebih tertolak lagi untuk masuk ke dalam rumah lewat bagian rumah yang lebih sulit dilalui. (Tuhfatul Ahwadzi, 5/433)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-‘Asqalani Rahimahullah berkata: “Menyebut nama Allah akan memisahkan setan dari melakukan perkara-perkara yang disebutkan. Dengan demikian, bila tidak disebut nama Allah, setan bisa melakukan perkara-perkara tersebut. Yang menguatkan hal ini adalah hadist yang dikeluarkan oleh Muslim1 dan Al-Arba’ah2 dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘anhu secara marfu’ 3:
إِذَا دَخَلَ الرَّجُلُ بَيْتَهُ فَذَكَرَ الله عِنْدَ دُخُوْلِهِ وَعِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: لاَ مَبِيْتَ لَكُمْ وَ لاَ عَشَاءَ. وَ إِذَ دَخَلَ فَلَمْ يَذْكُرِ الله عِنْدَ دُخُوْ لِهِ، قَالَ الشَّيْطَانُ: أَدْرَكْتُمُ الْمَبِيْتَ. وَ إِذَا لَمْ يَذْكُرِ الله عِنْدَ طَعَامِهِ، قَالَ: أَدْرَكْتُمُ الْمَيْتَ وَالْعَشَاءَ.
“Apabila seseorang masuk ke rumahnya dalam keadaan berzikir kepada Allah ketika masuknya dan ketika memakan makannya, berkatalah setan: Tidak ada tempat bermalam bagi kalian dan tidak ada makan malam. Kalau orang itu masuk rumah, dia tidak berzikir ketika masuknya, berkatalah setan: Kalian mendapatkan tempat bermalam. Dan bila dia tidak berzikir ketika makan, berkatalah setan: Kalian mendapatkan tempat bermalam dan makan malam.” (Fathul Bari, 11/90)
Duhai, alangkah jauhnya lingkungan kita dan masyarakat kita dari mengamalkan tuntunan agama ini. Semoga dengan membaca nasehat ini, mereka mendapatkan ilmu dan pemahaman, yang kemudian mereka amalkan dalam kehidupan mereka, amin… Allah sajalah yang memberi taufik!!!
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Footnote:
1 No. 2018.
2 Yaitu At-Tirmidzi, Abu Dawud, An-Nasa’i dan Ibnu Majah.
3 Sampai kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.