Secangkir Teh Buatan Ayah
07 Nov 2012 | Rubrik: Kisah Sejati - Dibaca: 558 kali
Penulis: Aida Hanifa
Terkadang, hal kecil yang dilakukan
oleh orang lain untuk kita, terasa tidak berarti apa-apa sebelum ada
orang lain yang menceritakannya kepada kita, dan memberitakan hikmahnya.
Dan, ini adalah kisah adikku, Riska, yang baru menyadari hikmah di balik
secangkir teh buatan ayah, setelah bertahun-tahun menganggap itu adalah
teh yang biasa-biasa saja...
***
Ini adalah wawancara kerja ke-sekian kalinya yang
telah dilalui oleh Riska. Tapi wawancara kali ini lebih berkesan. Bukan
hanya karena Sang Direktur BUMN itu sendiri yang mewawancarai, tapi juga
karena apa yang disampaikannya seperti mengingatkan Riska pada barang
kesayangan yang dulu pernah hilang dan belum ditemukan kembali.
Sang Direktur itulah yang menemukannya. Orang yang
tak diduga-duga, telah mengembalikan ‘barang kesayangan’ miliknya yang
hilang.
“Jadi, setelah kamu merenung sekian lama, tahukah kamu apa itu integritas?”
Mungkinkah integritas yang dimaksud Bapak ini sama dengan integral yang kupelajari saat kuliah dulu? Tanyanya sendiri dalam hati.
Riska menggeleng. Sang Direktur menghela nafas berat.
“Oke, sekarang saya mau tanya, bagaimana suasana keagamaan di rumahmu? Sangat agamis? Biasa saja? Atau malah antipati?”
Ah, ini BUMN berbasis syariah. Maka beginilah pertanyaannya.
“Sangat agamis,” jawab Riska pendek. Ia mengelap
keringat di atas bibirnya dengan tisu yang ia lipat rapi menjadi bujur
sangkar kecil.
“Kalau begitu, ceritakan! Ceritakan apa yang
dilakukan ayahmu dari ia bangun pagi sampai ia tidur! Saya ingin tahu,
seberapa agamisnya?”
Riska menyandarkan punggungnya pada kursi, berusaha rileks. Ia pejamkan matanya sesaat, dan cerita mengalir dari bibirnya.
Ayah, sepanjang ingatan Riska, selalu bangun
sebelum Subuh. Mengawali hari dengan sholat qiyamullail. Selepas solat,
Ayah akan menjerang air di ketel. Sambil menunggu air itu mendidih, Ayah
akan membuka Al-Qur’an, membacanya dengan suara membahana yang
terdengar seisi rumah. Kadang, Riska terbangun karena suara Ayah
mengaji.
Setelah air mendidih, Ayah menyeduh kopi untuk
dirinya, dan teh-teh untuk seluruh anggota keluarga. Jika ada roti—dan
memang hampir setiap hari ada roti—Ayah akan mengolesi roti dengan
mentega atau selai. Lalu Ayah hidangkan di piring. Beres dengan itu
semua, Ayah akan bangunkan, pertama-tama, dua adik laki-laki Riska untuk
bersiap sholat Subuh di masjid dekat rumah.
Selalu begitu setiap hari. Tak ada hari libur di mana Ayah tidak melakukan semua ritual itu.
“Kenapa Ayahmu membuatkan teh untuk anak-anaknya?”
“Ayah sengaja membuatkan kami teh, supaya ada
sesuatu yang bisa kami nikmati begitu kami membuka mata. Juga, supaya
adik-adik saya yang laki-laki mau bangun pagi dan sholat di masjid.
Mereka suka sekali teh.”
“Selalu begitu setiap hari?” tanya Sang Direktur.
“Ya, itu rutinitasnya,” jawab Riska.
Sang Direktur tersenyum samar sebelum akhirnya ia berucap: “itulah integritas.”
“Oh ya?” Riska membulatkan matanya. Sesederhana itukah integritas?
“Ya,” Sang Direktur menjawab tegas. “Ayahmu ingin
setiap anak laki-lakinya sholat subuh di masjid. Dan ia tidak sekedar
memerintah dengan ucapan, tapi ia memberikan contoh, memfasilitasi,
dengan ngotot, terus-menerus, tidak peduli bahwa sebetulnya, ia mungkin
bosan harus membuatkan teh untuk kalian semua, agar sekadar kalian mau
bangun pagi...”
“Tidak banyak kalimat perintah yang mungkin ia
katakan. Hanya contoh nyata, bahwa perkataan dan perbuatan seiring
sejalan.” Urai Sang Direktur. “Dan kau tahu?” tanyanya kemudian, “Itulah
yang bedakan antara Ayahmu, dan koruptor!” Sang Direktur memberi
tekanan pada kata terakhir.
Tiba-tiba saja, hati Riska meleleh. Sebesar itukah
makna secangkir teh di pagi hari, yang selalu ia teguk begitu keluar
kamar tidur, saat matanya bahkan belum benar-benar terbuka?
“Riska, koruptor mungkin lebih fasih
mengumandangkan kalam Ilahi daripada ayahmu. Ilmu agamanya bisa jadi
lebih luas dari yang dimiliki Ayahmu. Tapi, apa yang mereka katakan,
ilmu yang mereka peroleh, tidak mereka jadikan sebagai prinsip hidup.
Tidak mereka laksanakan pula berupa wujud nyata. Mereka merasa cukup
dengan bicara, bicara, bicara...”
“Para koruptor, mereka seorang Ayah juga, mungkin
hanya teriak-teriak membangunkan anak-anaknya di pagi hari. Kemudian di
meja makan, menasehati: “Nak, kamu harus rajin sholat ya! Kamu harus
rajin dateng TPA ya! Kalau nggak, mau jadi apa kamu nanti?” padahal, si
Ayah itu, terlihat sholat di rumahnya pun jarang!”
Air mata Riska mulai tampak nyata.
“Kenapa kamu menangis?” tanya Sang Direktur.
“Karena—karena saya baru sadar, bahwa apa yang
dilakukan Ayah selama ini, sangat berarti. Selama ini, saya hanya
melihatnya sebagai sebuah rutinitas...”
Dan saya seperti menemukan barang kesayangan yang telah lama hilang... lanjut Riska dalam hati.
Terbayang wajah Ayah. Terbayang apa yang ia lakukan
tiap pagi. Dan, teringat, bahwa belum sekalipun Riska berterimakasih
pada Ayah untuk itu...
Ah, integritas seorang Ayah...
Ternyata, untuk menemukan makna atas apa yang Ayah
lakukan setiap pagi, ia harus mencarinya sejauh ini; enam tahap tes
tertulis yang semuanya dilakukan di Jakarta—puluhan kilometer dari
rumahnya, dan bertemu Pak Direktur yang telah mewawancarainya sejam
lebih! Terimakasih! Alhamdulillah!