Kata pepatah, ‘surga ada dibawah telapak kaki ibu’.
Jargon yang sering dibisikkan ke teloinga saya ketika saya masih kecil.
Kata Ibu, jangankan berdebat…berkata ‘ah’ saja sudah merupakan dosa
dalam ajaran agama Islam. Mengapa kita harus menghormati Ibu, karena
beliau yang melahirkan, mendidik, dan membesarkan kita..dari yang tidak
bisa menjadi bisa.
Muncul argument dalam benak saya, apakah jargon itu
masih tepat untuk diucapkan di era modern? Akibat adanya paham
globalisasi yang didengungkan oleh Negara maju (developed), muncul
pemikiran baru tentang ‘emansipasi wanita’. Tidak perlu saya jelaskan
panjang lebar dalam artikel ini tentang apa itu emansipasi di era modern
karena sudah banyak contoh-contoh nyata di kehidupan kita sehari-hari.
Intinya, memberikan kesempatan yang sama pada kaum perempuan untuk
sejajar dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan. Nah, bagaimana
kalau peran ibu mulai tergantikan oleh pembantu/baby
sitter/pre-school/tempat penitipan anak karena si Ibu sibuk bekerja?
Bagaimana kalau metode melahirkan sekarang sedemikian majunya sehingga
Ibu lebih memilih melakukan cesar ketimbang melahirkan normal? Bagaimana
kalau kaum perempuan yang terlalu modern lebih memikirkan karir dan
pekerjaan ketimbang menikah dan membangun keluarga?
3 poin diatas merupakan pandangan saya terhadap
perkembangan sosial yang sekarang terjadi di Indonesia. Apakah ini
salah? Bagaimana dengan peran ayah? Bagaimana dengan ayah yang tidak ada
di sisi sang Ibu dan si kecil ketika dibutuhkan?
Alhamdulillah, saya berkesempatan untuk break
sejenak dari perkuliahan saya di Belanda dan pulang kembali ke tanah air
untuk menemui istri dan anak saya yang akan menginjak 2 tahun. Sudah
seminggu saya berada di Surabaya, dan hari-hari saya habiskan untuk
mengurus anak semata wayang saya, Arfa yang masih kecil. Saya temani dia
bermain, saya keloni (baca: temani) dia ketika akan tidur, saya suapi
dia dengan tangan saya, dan saya mandikan dia setiap harinya, saya cuci
perlengkapan makannya dan baju (terima kasih untuk mesin
cuci/teknologi). Semua hal yang biasanya dilakukan Ibu, saya lakukan
sendiri (termasuk membersihkan bekas pup-nya). Hasilnya? Wow…cukup
memakan waktu, bahkan tidak terasa waktu cepat berlalu hingga senja-pun
dating, waktu untuk menjemput istri saya pulang bekerja.
Memang saya sendiripun mengaku salah dengan
meninggalkan si kecil untuk memenuhi ego dan ambisi saya. Tetapi, janji
saya kepada istri dan anak saya seperti ini “kelak suatu saat, kalau
ayah pergi jauh lagi, ayah akan ajak ibu dan Arfa ikut papa agar kita
selalu bersama”. Itu argument saya untuk si-Ayah karena posisi saya
sebagai Ayah bagi anak saya dan Suami bagi bagi Istri saya. Untuk Ibu,
saya sendiri jujur juga susah berpihak pada yang mana karena pada
dasarnya saya menyetujui emansipasi wanita dan kesetaraan gender, tetapi
sedikit menyesalkan bagi ibu yang mengabaikan anak dan suami untuk
kepentingan karir. Tetapi akhir kata, saya tetap salut untuk Ibu super
yang bisa menghandle semuanya. Membagi waktu dengan bijak dan memegang
peranan penting dalam keluarga meski tetap bekerja.